Gempa dan
Penguatan Yen 'Remukkan' Laba Manufaktur Jepang
Nurul
Qomariyah - detikfinance
Senin, 31/10/2011
14:22 WIB
Tokyo - Gempa dan tsunami yang melanda
Jepang 11 Maret lalu telah memaksa sejumlah raksasa manufaktur Jepang
menghentikan produksinya. Ditambah penguatan yen, laba perusahaan manufaktur
Jepang pun tergerus tajam.
Beberapa perusahaan manufaktur besar
mengumumkan laba yang tergerus cukup besar akibat gempa dan tsunami tersebut.
Honda mencatat salah satu penurunan laba yang cukup parah akibat bencana
tersebut.
Honda mengumumkan laba bersihnya untuk
semester I tahun fiskal 2011 yang berakhir pada 30 September merosot hingga
77,4% menjadi US$ 60,4 miliar secara year on year. Sementara laba untuk kuartal
II saja tercatat merosot 55,5% akibat anjloknya penjualan di AS dan Jepang
sehubungan gangguan suplai karena gempa.
Seperti dikutip dari AFP, Senin
(31/10/2011), produsen Civic dan Accord itu juga menyatakan pendapatannya
selama semester I yang berakhir 30 September mencapai 92,2 miliar yen (US$ 1,2
miliar), atau merosot hingga 77,4% dibandingkan periode yang sama tahun
sebelumnya.
Laba operasional juga merosot 81,1% menjadi
75 miliar yen akibat penjualan dan produksi yang lebih rendah, akibat dampak
kenaikan harga bahan baku dan efek penguatan yen. Sementara penjualan turun 22%
menjadi 3,6 triliun yen.
"Penjualan mobil turun karena terutama
akibat turunnya produksi sebagai dampak gempa dan efek translasi mata uang
asing yang tidak diinginkan," ujar Honda dalam pernyataannya.
Perusahaan manufaktur lain yang juga
mengumumkan turunnya laba akibat gempa dan tsunami adalah Toshiba. Perusahaan
teknologi itu mengumumkan labanya turun 18,5% untuk semester I tahun fiskal
2011 yang berakhir 30 September, akibat gempa dan penguatan yen.
Laba bersih Toshiba grup untuk semester I
mencapai 22,7 miliar yen, turun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai
27,8 miliar yen. Toshiba yang lini bisnisnya tersebar dari barang elektronik
hingga pembangkit nuklir itu mengumumkan laba operasionalnya turun 23,4%
menjadi 80,2 miliar yen, dengan penjualan turun 5,5% menjadi 2,9 triliun yen.
Sedangkan Panasonic mengumumkan kerugian
sebesar 136,15 miliar yen (US$ 1,7 miliar) selama periode April hingga
September, akibat gempa dan tsunami. Padahal pada periode yang sama tahun
sebelumnya, Panasonic mencetak laba bersih 74,72 miliar yen.
OPINI :
"Penjualan
mobil turun karena terutama akibat turunnya produksi sebagai dampak gempa dan
efek translasi mata uang asing yang tidak diinginkan," ujar Honda dalam
pernyataannya.
Efek dari translasi mata uang asing yang tidak diinginkan
mengakibatkan penjualan terhadap mobil turun. Memasukkan
penyesuaian-penyesuaian translasi dalam laba berjalan secara umum umum
ditentang dengan alasan bahwa penyesuaian-penyesuaian tersebut hanyalah produk
dari proses penyajian ulang. Yaitu, perubahan-perubahan dalam valuta domestik
ekivalen dari aktiva bersih perusahaan anak di luar negeri “belum terealisasi”,
tidak memiliki efek atas arus kas valuta lokal yang ditimbulkan oleh entitas di
luar negeri yang mungkin sedang melakukan investasi ulang atau membayar kembali
kepada perusahaan induk. Memasukkan penyesuaian-penyesuaian semacam itu dalam
laba berjalan, dengan demikian, akan menyesatkan. Dalam situasi-situasi ini,
penyesuaian translasi harus diakumulasikan secara terpisah sebagai bagian dari
ekuitas konsolidasi.
Meskipun begitu, pendekatan deferral,
mungkin ditentang dengan alasan bahwa nilai tukar tidak kembali ke keadaan
semula dengan sendirinya. Bahkan jika hal itu terjadi, penyesuaian-penyesuaiati
deferral atau transaksi akan didasari pada prediksi nilai tukar, upaya yang
paling susah dalam praktik. Situasi-situasi bisa timbul dimana hasil-hasil
operasi mengalami salah saji hanya karena kesalahan peramalan. Bagi beberapa
pihak, penundaan kerugian atau keuntungan translasi menutupi perilaku perubahan
nilai tukar; yaitu, perubahan-perubahan kurs merupakan fakta historis dan
pemakai-pemalcai laporan keuanganakan terlayani dengan baik jika dampak-dampak
fluktuasi nilai tukar dicatat ketika dampak-dampak ini muncul. Menurut FAS No.
8(paragraf 199), “Kurs selalu berfluktuasi; akuntansi seharusnya tidak memberi
kesan bahwa kurs tersebut stabil”.